Tuesday, May 27, 2008

BBM dan Ayam Yang Mati di Lumbung Padi

(Sekedar menyambung apa yang Harley keluhkan di sini.)

Seperti sudah kita mahfumi bersama, Jum'at malam lalu pemerintah telah menaikkan harga BBM (dengan kenaikan rata-rata 30%). Apa yang kemudian terjadi adalah seperti yang sudah sama-sama diperkirakan yaitu hampir semua barang kebutuhan pokok harganya juga ikut meningkat dengan besaran yang kurang lebih sama dengan kenaikan BBM tersebut (bahkan di beberapa tempat kenaikan harga barang kebutuhan pokok sudah mendahului kenaikan BBM itu sendiri!). Fenomena kenaikan harga barang-barang ini dikatakan banyak orang sebagai Multiplier Effect. Namun demikian, jika benar-benar dikaji perhitungan model matematisnya Multiplier Effect tersebut, maka harusnya besaran kenaikan tingkat harga-harga tidak sebesar besaran kenaikan harga BBM itu sendiri!

Apa yang pemerintah justifikasikan terhadap keharusan kenaikan harga BBM bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga BBM harus dinaikkan harganya agar adil, pada akhirnya menjadi tidak tepat karena seluruh lapisan masyarakat terkena dampaknya. Hal ini disebabkan terjadinya kenaikan tingkat harga secara umum (General Price Increase) yang lebih lanjut menyebabkan turunnya 'Real Income' masyarakat.

Apa yang salah sebenarnya dari dunia perminyakan Indonesia? Banyak yang menyuarakan bahwa perlu ditinjau-ulangnya UU Migas th 2001. UU ini adalah produk Imperialis Ekonomi-nya IMF yang dipaksakan atas negara kita karena pada saat itu kita memang sedang 'kehilangan kemerdekaan' kita setelah Soeharto 'menyerah' pada 1997 dengan menekan perjanjian di depan Michael Camdesus.

Apa yang salah dengan UU Migas itu?

Pertama adalah kita kehilangan kendali atas minyak yang ditambang. Saat ini memang katanya 25% adalah jatah KPS dan sisa 75%-nya milik pemerintah; namun itu perhitungan nett yang jika dimasukkan 'cost recovery' (yang oleh pihak KPS dikatakan terus-terusan naik) maka jatah riil pemerintah hanya sekitar 55% saja (dari 900an ribu barrel) - silakan tanya ke teman-teman yang bekerja di sektor Migas! Padahal di Russia saja pemerintahnya hanya memberikan jatah cap $26/barrel untuk KPS (sedangkan kelebihannya buat pemerintah), sehingga jika terjadi 'windfall profit' (seperti pada masa-masa sekarang) benar-benar dinikmati oleh negara! Satu hal yang lebih lucu lagi adalah pemerintah tidak punya daya untuk secara realtime menghitung berapa banyak minyak mentah yang ditambang di bumi pertiwi - sehingga besar sekali kemungkinan adanya minyak yang digelapkan! Tentunya masih ingat 'kan dengan kasus adanya 2 pipa gelap berdiameter besar sepanjang belasan kilometer beberapa tahun lalu?

Kelucuan lain adalah ditengah-tengah harga minyak dunia yg sedang tinggi-tingginya ini jumlah lifting minyak malah menurun?!? Logikanya di mana ya, seharusnya kan KPS-KPS tersebut malah menggenjot produksinya untuk menikmati keuntungan yang berganda (tingginya harga minyak dan COGS relatif tidak meningkat!). Kendali inilah yang seharusnya kita kembalikan ke negara ini!

Kedua, soal peruntukan/alokasi hasil penambangan. Menurut UU Migas 2001, hanya 25% dari gas alam yang diperuntukkan untuk keperluan dalam negeri. Ini juga sangat konyol karena gas itu kan salah satu SDA kita yang paling berharga, kenapa jatah kita malah sedikit sekali? Dampak yang paling jelas adalah sektor tenaga listrik di negeri ini (baca: PLN). Jika di beberapa negara lain, perusahaan listrik negara itu dijamin keterpasokan energinya oleh pemerintah (biasanya dengan harga yang layak) namun di Indonesia PLN harus membeli BBM dengan harga pasar (walaupun dananya memang sebagian disubsidi oleh pemerintah). Apa yang kemudian terjadi adalah tekanan APBN yang cukup besar karena PLN harus membeli BBM dengan harga pasar. Akibatnya sekarang ini sebagian masyarakat harus menanggung (yang rumahnya terkena tarif R3 ke atas) sistem 'tarif hukuman' apabila memakai listrik lebih dari rata-rata nasional. Padahal hampir sebagian besar pembangit PLN yang baru sudah memakai sistem 'dual burner' (bisa memakai BBM ataupun gas alam). Nah pada saat ini, sudah seharusnya PLN bisa beralih ke gas alam. Namun apa daya, menurut UU Migas jatah gas alam dalam negeri hanya 25% saja... itupun diperebutkan juga oleh pabrik pupuk, pabrik semen, pabrik bijih plastik, dll selain oleh PLN. Padahal, jika dihitung apple to apple maka katanya gas alam ini jauh lebih murah dari BBM. Sebagai pembanding, di Malaysia pembangkit-pembangkit listrik dijamin ketersediaan gas alamnya oleh pemerintah dengan harga yang layak.

Begitulah kisah sedih Indonesia. Memang betul-betul seperti kata pepatah: 'ayam mati di lumbung beras'. Karena pembuat kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat (atau lebih karena goblok?!?) dan begitu banyaknya tikus-tikus koruptor & free rider.

No comments: